Jumat, 25 Oktober 2013

Aqidah wihdatul wujud

Wihdatul Wujud
Rabu, 28 Juli 2010 15:57:37 WIB
WIHDATUL WUJUD

Oleh
Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa

HAKIKAT KEYAKINAN WIHDATUL WUJUD DAN PELOPORNYA
Keyakinan wihdatul wujud, merupakan pemahaman ilhadiyah (kufriyah) yang muncul setelah dipenuhi dengan keyakinan hulul. Yaitu, dalam istilah Jawa disebut manunggaling kawula lan gusti. Artinya, bersatunya makhluk dengan Tuhan, pada sebagian makhluk. Tidak ada keterpisahan antara keduanya. Muaranya, segala yang ada merupakan penjelmaan Allah Azza wa Jalla. Tidak ada wujud selain wujud Allah. Hingga akhirnya berpandangan, tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini, kecuali Allah. Pemikiran sesat seperti ini, tidak lain kecuali berasal dari keyakinan Budha dan kaum Majusi.[1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, bahwa mereka (orang-orang yang berkeyakinan dengan aqidah wihdatul wujud) telah melakukan ilhad (penyimpangan) dalam tiga prinsip keimanan (iman kepada Allah, RasulNya dan hari Akhirat). Menurut Syaikhul Islam, dalam masalah iman kepada Allah, mereka menjadikan wujud makhluk merupakan wujud Pencipta itu sendiri. Sebuah ta'thil (penghapusan sifat-sifat Allah) yang sangat keterlaluan.[2]

Pemahaman seperti ini sungguh sangat nista dan kotor. Karena, konsekwensinya berarti seluruh keburukan, binatang-binatang najis, kejahatan, iblis, setan dan perihal buruk lainnya merupakan jelmaan Allah. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang mujrimin (berbuat kejelekan).

Keyakinan seperti inilah yang menjadi landasan aqidah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Arabi Abu Bakr al Hatimi. Dia lebih dikenal dengan nama Ibnu ‘Arabi [3]. Lahir tahun 560 H di Andalusia dan meninggal tahun 638 H. Menurut adz Dzahabi, ia (Ibnu 'Arabi) sebagai kiblat orang-orang yang menganut paham aqidah wihdatul wujud [4]. Simak dua bait syair yang tak pantas ini :

Tidaklah anjing dan babi kecuali sesembahan kami
Dan bukanlah Allah, kecuali seorang pendeta di gereja! [5]

Lebih jauh Syaikhul Islam menjelaskan bahwa, keyakinan seperti ini diadopsi dari pemikiran para filosof, seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Yang kemudian dikemas dengan baju Islam melalui tasawuf. Kebanyakan terdapat dalam kitab al Kutubul Madhnun biha ‘Ala Ghairi Ahliha.[6]

SYUBHAT SEPUTAR UNGKAPAN KUFUR IBNU ‘ARABI
Kitab Fushulul Hikam dan al Futuhat al Makkiyah, dua karya Ibnu 'Arabi yang sangat terkenal ini, sarat dengan perkataan-perkataan tentang wihdatul wujud, penafian perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dengan makhlukNya, dan penetapan penyatuan antara keduanya. Sangat jelas, dari dua buku ini, betapa rusak aqidah penulisnya dan orang-orang yang mengikutinya.

Sebagai contoh, misalnya dalam sebuah penggalan syairnya, Ibnu 'Arabi berkata:

الْعَبْدُ رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ يَا لَيْتَ شِعْرِيْ مَنِ الْمُكَلَّفُ

Hamba adalah Rabb, dan Rabb merupakan hamba
Aku bingung, siapa gerangan yang menjadi mukallaf.

Ia juga mengatakan :

عَقَدَ الْخَلَائِقُ فِيْ الْإلِه عَقَائِدَ وَأَنَا اعْتَقَدْتُ جَمِيْعَ اعْتَقَدُوهُ

Semua makhluk berkeyakinan tentang ilah (sesembahan) dengan berbagai keyakinan
Dan aku berkeyakinan (tentang ilah) dengan seluruh yang mereka yakini itu.[7]

Begitu juga dengan perkataannya :

Dia menyanjungku, aku pun memujiNya
Dia menyembahku, dan aku pun menyembahNya.

Dalil yang ia catut untuk mendukung argumentasinya, yaitu firman Allah dalam an Nur/24 ayat 39 :

وو جد الله عنده

"Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya".

Juga dengan mengusung hadits palsu berikut :

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

"(Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Rabb-nya)".

Mengenai argumentasi yang dibawakan ini, Dr. Ghalib 'Awaji memberikan komentar : "Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang sangat aneh dan mungkar yang diucapkan oleh seseorang. Bagaimana mungkin mengatakan al Qur`an dan Sunnah mengajak ilhad dan kekufuran kepada Allah? Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah mengatakan, kekufuran mereka lebih parah daripada kekufuran Yahudi dan Nashara serta kaum musyrikin Arab” [9]. Adapun Ahlu Sunnah menetapkan, sebagaimana dikatakan Ibnul Abil ‘Izz rahimahullah [10] : "Ahlu Sunnah bersepakat, tidak ada sesuatu pun menyerupai Allah, baik pada dzatNya, sifatNya maupun af‘al (perbuatan-perbuatan)Nya".

Mengenai keimanan kepada hari Akhir, Ibnu 'Arabi berpendapat, bahwa penghuni neraka juga merasakan kenikmatan di neraka, sebagaimana yang dinikmati oleh penghuni jannah di jannah. Karena adzab (yang berarti siksaan), disebut demikian, lantaran kenikmatan rasanya ('udzubatu tha'mihi, dari kata adzbun yang berarti lezat).

Sementara itu, tentang keimanan kepada para rasul, penganut wihdatul wujud juga melakukan penodaan yang tidak ringan terhadap gelar terhormat para rasul. Menurut mereka, penutup para wali Allah itu lebih berilmu daripada penutup kenabian. Mereka berpendapat, para nabi -termasuk pula Nabi Muhammad- mengambil ilmu dari celah wali terakhir.

Tentu, pendapat seperti ini, sangat jelas melanggar nash-nash agama dan cara berpikir yang . Seperti sudah dimaklumi, orang yang datang di akhir, ia akan mengambil manfaat dari orang yang berada di depannya. Bukan sebaliknya. Dalam perspektif agama, wali Allah yang paling utama, ialah orang-orang yang mengambil ilmu dari nabi yang mulia. Dan wali Allah yang paling mulia dari umat ini adalah, orang-orang shalih yang menyertai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:

"Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu'min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula". [at Tahrim/66 : 4].

Menurut kesepakatan para imam salaf dan khalaf, wali Allah yang paling afdhal adalah Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu kemudian ‘Umar Radhiyallahu 'anhu.

Berbeda dengan pandangan orang-orang mulhid tersebut (Ibnu Arabi dkk), mereka lebih mengutamakan ahli filsafat ketimbang seorang nabi. Ibnu ‘Arabi sendiri mengatakan : "Sesungguhnya penutup para wali mengambil langsung dari piringan logam yang diambil oleh malaikat untuk diwahyukan kepada nabi". Pernyataan ini sangat nampak pelanggarannya terhadap al Kitab, as Sunnah dan Ijma'.[11]

MِEREKA LEBIH BODOH DARI FIR'AUN [12]
Orang-orang yang mengklaim telah mencapai tingkatan tahqiq, ma'rifah, dan wilayah yang memegangi aqidah wihdatul wujud, asal-muasal perkataan mereka merujuk pernyataan Bathiniyah, dari kalangan kaum filosof, Qaramithah dan semisalnya. Mereka sejenis dengan Fir'aun, namun lebih bodoh darinya. Fir'aun, memang sangat keras pengingkarannya, tetapi ternyata, ia tetap meyakini keberadaan Pembuat alam semesta (Allah) yang berbeda dengan alam semesta. Fir'aun memperlihatkan pengingkaran, tidak lain karena demi meraih kharisma, dan bermaksud menunjukkan jika perkataan Musa sama sekali tidak ada hakikatnya. Lihat al Qur`an surat al Mu'min/40 ayat 36-37.

Sedangkan penganut wihdatul wujud, meski meyakini adanya Pembuat alam semesta ini, tetapi mereka tidak menetapkan wujudNya yang berbeda dengan alam ini. Mereka berpendapat, wujudNya sama dengan wujud alam semesta. Bahkan menjadikan Dia menyatu dengan alam semesta. Sungguh suatu pandangan batil yang sangat menyimpang. Bagaimana mungkin al Khaliq sama dengan makhlukNya dari segala sisi? Allah berfirman:

"… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [asy Syura/42 : 11].

Al Imam ath Thahawi mengatakan: "Persangkaan-persangkaan tidak bisa sampai kepada (hakikat)Nya. Pemahaman-pemahaman pun tidak akan mencapai (hakikat)Nya". Ibnu Abil 'Izzi menambahkan pernyataan al Imam ath Thahawi ini dalam syarahnya dengan mengatakan : "Dan Allah Ta'ala tidak diketahui bagaimana dzatNya, kecuali Dia sendiri Subhanahu wa Ta'ala . Kita mengenalNya hanyalah melalui sifat-sifatNya" [14]. Syaikhul Islam juga mengatakan : “Aqidah yang dibawa para rasul dan yang termuat pada kitab-kitab yang Allah turunkan, serta sudah menjadi kesepakatan Salaful Ummah dan para tokohnya, yaitu penetapan pencipta yang berbeda dengan ciptaannya, dan Dia berada di atasnya (ciptaanNya)”. [15]

Demikian ditinjau dari aspek agama (dalil). Sedangkan dari aspek aqli (logika), sungguh tidak mungkin pencipta menyerupai yang dicipta. Apalagi kalau semua makhluk adalah juga pencipta. Tentu sangat mustahil.

PENGUSUNG AQIDAH WIHDATUL WUJUD LAINNYA
Selain Ibnu 'Arabi, ada beberapa tokoh yang ikut mengusung pemikiran wihdatul wujud. Di antaranya adalah Ibnul Faridh. Dalam kumpulan syairnya yang populer, yaitu Ta`iyyah, ia mengungkapkan hakikat aqidahnya. Dia menyatakan dirinya sebagai mumatstsil kabir lillah (penjelma Allah yang besar) dalam sifat dan perbuatanNya.

Abdul Qadir al Jili, penulis kitab al Insanul Kamil, guru Abdul Qadir al Jailani. Dalam salah satu selorohannya, ia berkata : "Dan sesungguhnya aku adalah Rabb bagi alam. Dan penguasa seluruh manusia itu sebuah nama. Dan akulah orangnya".

Abu Hamid al Ghazali, dalam kitab Ihya` Ulumuddin, saat menjelaskan maratibut tauhid (tingkatan-tingkatan tauhid) yang keempat, ia mengatakan : "Tingkatan tidak melihat dalam alam ini kecuali satu wujud saja".

Untuk menjawab kebingungan orang yang mempermasalahkan bagaimana bisa dikatakan satu, padahal banyak hal yang terlihat dan berbeda-beda? Maka ia menjawab: "Ketahuilah, itulah puncak mukasyafat dan rahasia-rahasia ilmu. Tidak boleh dituangkan dalam sebuah kitab. Orang-orang yang arif berkata,'Membeberkan rububiyah adalah kufur'.”

Jawaban ini mengandung tuduhan kepada Allah dalam menjelaskan aqidah, karena secara implisit dari jawabannya berarti Allah belum menerangkannya dengan sejelas-jelasnya, demikian juga Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. tidak diketahui kecuali orang-orang yang sudah mencapai tingkatan kasyf dalam wacana sufi. [16]

Jalaluddin ar Rumi, penyair dari Persia (Iran) ini, dalam kumpulan puisinya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab, ia mengatakan: [17]

Bila di dunia ini ada orang mukmin, orang kafir atau pendeta Nashrani, maka aku adalah dia.
Aku hanya punya satu tempat ibadah, baik itu masjid, gereja ataupun candi.

WIHDATUL AD-YAN (PENYATUAN AGAMA-AGAMA) SALAH SATU KONSEKWENSI DARI WIHDATUL WUJUD
Dengan pemikiran yang telah dipaparkan di atas, keyakinan Wihdatul Wujud, juga melahirkan wacana, yang kini telah digagas para pengekornya, yaitu usaha untuk mempersatukan agama-agama. Sebuah anggapan bahwa semua agama adalah benar, memiliki tujuan yang sama. Yaitu menyembah tuhan yang sama, hanya berbeda dalam cara. Pandangan sesat seperti ini, tidak diragukan lagi merupakan kekufuran yang sangat nyata.[18]

Tak ayal, pemikiran ini mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari kalangan Orientalis dan musuh-musuh Islam lainnya. Karena, pada gilirannya berarti semua keyakinan adalah benar, tidak ada perbedaan antar-manusia. Seluruh agama kembali kepada satu keyakinan, karena semuanya jelmaan dari Tuhan.

Dikatakan oleh Allen Nicholson, diantara konsekwensi pemikiran wihdatul wujud, yaitu pernyataan mereka tentang kebenaran semua aqidah dalam agama-agama, apapun bentuknya.

Lebih jauh ia mengatakan : "Sebenarnya al Ghazali lebih toleran terhadap sebagian sufi Wihdatul Wujud, semisal Ibnu ‘Arabi dan lain-lainnya dari kalangan sekte sufi yang menjadi kawan-kawan kami dalam agama liberal itu, dengan seluruh maknanya”.[19]

Sudah pasti Islam berlepas diri dari pemikiran yang sangat menyimpang ini. Pemikiran ini telah mencampur-adukkan antara yang benar dan batil. Sehingga dapat menyebabkan hilangnya identitas kaum Muslimin, meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad di jalan Allah.

Oleh karena itu, kaum Orientalis memberikan perhatian yang besar terhadap keyakinan rusak ini. Yaitu dengan lebih memperdalam mengkaji tentang tashawwuf. Karena, tashawwuf ini mendukung sebagian tujuan mereka. yakni untuk melupakan kaum Muslimin dengan ajaranya, dan juga unutk memecah-belah kaum Muslimin. Dengan pemikiran Wihdatul Wujud, orang-orang Orientalis merasa memiliki sarana yang tepat untuk menyebarkan berbagai kekufuran.

KISAH ORANG YANG BERTAUBAT DARI AQIDAH IBNU 'ARABI
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengisahkan : Ada seseorang yang tsiqah (terpercaya) telah bertaubat dari mereka. Ketika ia mengetahui rahasia-rahasia mereka, maka ada (penganut wihdatul wujud) yang membacakan buku Fushul Hikam karya Ibnu ‘Arabi.

Orang yang tsiqah ini berkata : “Bukankah ini menyelisihi al Qur`an”.
Orang itu menjawab,"Memang al Qur`an semuanya berisi kesyirikan. Tauhid hanya ada pada pernyataan kami saja,”

Maka ia (orang yang tsiqah ini) kembali bertanya : “Kalau semua itu sama saja, mengapa putrimu diharamkan atasku, sementara istriku halal untukku?”.
Orang itu menjawab,"Dalam pandangan kami, tidak ada bedanya antara istri dan anak perempuan. Semua halal (untuk dinikmati).” [20]

Itulah sekilas tentang pemikiran Wihdatul Wujud. Masih banyak fakta-fakta sesat lainnya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pemikir ini. Bisa dijumpai dalam kitab-kitab yang mengkritisi alirah tashawwuf secara umum. Sebagian sudah ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Tema ini diketengahkan, supaya seorang muslim sadar dan berhati-hati terhadap aqidah yang sesat ini.
Wallahul hadi ila shirathil mustaqim.

Maraji :
- Ar Risalah ash Shafadiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H), tahqiq Abu Abdillah Sayyid bin 'Abbas al Hulaimi dan Abu Mu'adz Aiman bin 'Arif ad Dimasyqi, Adhwau as salaf, Riyadh, Cetakan I, Th. 1423H.
- Bayanu Mauqifi Ibnil Qayyim min Ba’dhil Firaq, Dr. ‘Awwad bin Abdullah al Mu’tiq, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cetakan, III, Th. 1419H.
- Da’watut-Taqribi Bainal Ad-yan, Dr. Ahmad bin Abdir Rahman bin ‘Utsman al Qadhi, Darul Ibnil Jauzi, Dammam, Cetakan I, Th. 1422H.
- Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, Dr. Ghalib ‘Awaji. Al Maktabah al 'Ashriyyah adz Dzahabiyyah Jeddah. Cet. V. Th. 1426 H – 2005 M.
- Hadzihi Hiyash Shufiyah, Abdur Rahman al Wakil, tanpa penerbit dan tahun.
- Syarhul ‘Aqidatith-Thahawiyah, ‘Allamah Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi, tahqiq sejumlah ulama, takhrij Syaikh al Albani, al Maktabul Islami, Beirut, Cetakan IX, Th. 1408H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Firaq Mu'ashirah, halaman 994.
[2]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247.
[3]. Agar tidak timbul salah persepsi, perlu dibedakan antara Ibnu ‘Arabi dengan Ibnul 'Arabi. Nama yang kedua diawali dengan alif lam ta'rif (Ibnu al 'Arabi). Beliau adalah seorang ulama Malikiyah yang terkenal, dengan nama lengkap Abu Bakr Muhammad bin 'Abdillah t (468-543 H). Di antara karyanya, Ahkamul Qur`an.
[4]. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/339.
[5]. Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 64.
[6]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 265. Kitab tersebut milik al Ghazali.
[7]. Fushushul Hikam, halaman 345. Dinukil dari Da’watut Taqrib, 1/386.
[8]. Al Fushush, halaman 83. Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah hlm. 43.
[9]. Firaq Mu'ashirah 3/994
[10]. Syarhul ‘Aqidatit-Thahawiyah, halaman 98.
[11]. Ar Risalah ash Shafadiyah, 251.
[12]. Ar Risalah ash Shafadiyah, Ibnu Taimiyah, 262.
[13]. Maqamat (tingkatan-tingkatan religi) dalam perspektif kaum Sufi.
[14]. Syarhul ‘Aqitatith-Thahawiyah, halaman 117.
[15]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 263.
[16]. Firaq Mu’ashirah Tantasibu Ilal Islam, 3/1002. Penulis kitab ini menukil keterangan Syaikh Abdur Rahman al Wakil perihal taubat al Ghazali yang berbunyi : “As Subki berupaya membebaskan peran al Ghazali (dalam aqidah ini) dengan dalihnya, bahwa ia (al Ghazali) menyibukkan diri dengan al Kitab dan as Sunnah di akhir hayatnya. Namun demikian, kaum Muslimin harus tetap diperingatkan dari warisan-warisan pemikiran al Ghazali yang terdapat pada kitab-kitab karyanya". Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 52. Pembahasan tentang Imam al Ghazali, pernah kami angkat pada edisi 7/Th. VI/1423H/2002M.
[17]. Dinukil dari Da’watut Taqrib (1/388-389).
[18]. Lihat Mauqifu Ibnil Qayyim, halaman 141; Hadzihi Hiyash Shufiyah, halaman 93; Da’watut Taqrib, 1/381-405.
[19]. Fit Tashawuf al Islami, Dinukil dari Hadzihi Hiyash Shufiyah, 50.
[20]. Ar Risalah ash Shafadiyah, halaman 247.

Kamis, 24 Oktober 2013

Wisata relegi

Fenomena Ziarah Ke Kuburan Para Wali [ Wisata Ziarah / Wisata Religi ]
Fenomena kesyirikan yang marak dilakukan di bumi pertiwi yang kita cintai ini tidak lepas dari pengkultusan yang berlebihan terhadap para wali. Lumrah jika para wali patut dihormati, namun yang ganjil dan keliru adalah mengkultuskan wali tersebut secara berlebihan dan mensejajarkannya dengan kedudukan Rabbul ‘alamin.

Fenomena Ziarah Wali

Pengultusan individu sangat bertolak belakang dengan ajaran penghulu para wali, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah melarang umatnya mengkultuskan beliau secara berlebihan dalam sabdanya,

َا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam (puncak pengkultusan kaum Nasrani kepada nabi ‘Isa adalah menuhankan ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam, pen-). Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan rasul-Nya” (HR. Bukhari nomor 3261).

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan,

قوله لا تطروني لا تمدحوني كمدح النصارى حتى غلا بعضهم في عيسى فجعله إلها مع الله وبعضهم ادعى أنه هو الله وبعضهم بن الله

“Maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah janganlah kalian mengkultuskanku seperti perbuatan kaum Nasrani yang mengkultuskan ‘Isa bin Maryam kemudian menjadikannya sesembahan di samping Allah atau bahkan lebih dari itu sebagian dari mereka mengklaim ‘Isa adalah Allah atau anak Allah” (Fathul Baari 12/149).

Pengkultusan inilah yang mendorong sebagian besar kaum muslimin untuk berkunjung ke kuburan para wali. Wisata religi, penamaan sebagian orang atas kegiatan ini. Meski kegiatan tersebut membuat masyarakat merogoh kocek dalam-dalam, menempuh perjalanan yang jauh serta berpeluh, toh mereka tidak peduli karena mereka berkeyakinan mengunjungi kuburan para wali adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, apalagi fenomena ini telah berlangsung sekian lama dan rutin dilakukan oleh sebagian besar penduduk negeri.

Oleh karena itu, kami akan membahas hadits syaddur rihal yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri radliallahu ‘anhu. Karena hadits ini memiliki kaitan yang erat dengan fenomena ziarah kubur wali atau yang dibungkus dengan label wisata religi.

Hadits Syaddur Rihal

Dari Abu Sa’id al Khudri radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي

“Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Bukhari nomor 1197).

Dalam hadits yang lain, Abu Sa’id mengatakan, “Aku mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تشدوا الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى

“Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar), kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Muslim nomor 827).

Hadits Nabi yang mulia di atas menyatakan keutamaan dan nilai lebih ketiga masjid tersebut daripada masjid yang lain. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan masjid para nabi ‘alaihimus salam. Masjidil Haram merupakan kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha adalah kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi merupakan masjid yang terbangun di atas pondasi ketakwaan (Al Fath 3/64). Oleh karena itu, kaum muslimin disyari’atkan untuk melakukan safar menuju ketiga tempat tersebut dan mereka dilarang untuk melakukan safar ke tempat lain dalam rangka melakukan peribadatan di tempat tersebut meskipun tempat itu adalah masjid.

Ziarah Kubur Wali

Larangan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id diatas juga mencakup perbuatan yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, yaitu menziarahi berbagai tempat yang diyakini memiliki keutamaan apabila seorang beribadah disana seperti kubur para wali rahimahumullah.

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah riwayat yang dibawa oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya yang menyebutkan pengingkaran sahabat Abu Basrah Al Ghifari radliallahu ‘anhu atas tindakan Abu Hurairah radliallahu ‘anhu yang mengunjungi bukit Thursina kemudian melaksanakan shalat disana (HR. Ahmad nomor 23901 dengan sanad yang shahih). Abu Basrah mengatakan kepada beliau, “Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana (karena aku akan melarangmu).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya.

Pengingkaran Abu Basrah terhadap apa yang diperbuat oleh Abu Hurairah merupakan indikasi bahwa larangan yang terkandung dalam hadits bersifat umum, mencakup seluruh tempat yang diyakini memiliki keutamaan dan dapat mendatangkan berkah.

Diantara dalil yang menguatkan hal ini adalah riwayat yang shahih dari Qaz’ah. Dia berkata, “Aku berkeinginan untuk pergi menuju bukit Thursina maka aku pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar mengenai keinginanku tersebut.” Ibnu ‘Umar pun mengatakan, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha”?! Urungkan niatmu tersebut dan janganlah engkau mendatangi bukit Thursina!” (HR. Al Azraqi dalam Akhbaru Makkah hal. 304 dengan sanad yang shahih).

Syaikhul Islam Ahmad bin ’Abdil Halim Al Harrani rahimahullah mengemukakan sebuah alasan yang logis mengenai hal ini. Beliau mengatakan,

فقد فهم الصحابي الذي روى الحديث أن الطور وأمثاله من مقامات الأنبياء ، مندرجة في العموم ، وأنه لا يجوز السفر إليها ، كما لا يجوز السفر إلى مسجد غير المساجد الثلاثة . وأيضًا فإذا كان السفر إلى بيت من بيوت الله -غير الثلاثة- لا يجوز ، مع أن قصده لأهل مصره يجب تارة ، ويستحب أخرى ، وقد جاء في قصد المساجد من الفضل ما لا يحصى- فالسفر إلى بيوت الموتى من عباده أولى أن لا يجوز

”Sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut sangat memahami bahwa bukit Thursina dan berbagai tempat semisalnya, yang notabene adalah tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh para nabi tercakup dalam keumuman larangan. Oleh karena itu, bersafar menuju tempat-tempat tersebut tidak diperbolehkan, sebagaimana bersafar ke masjid selain tiga masjid yang disebutkan dalam hadits juga tidak diperkenankan. Bersafar (mengadakan perjalanan jauh) ke salah satu masjid Allah tidak diperkenankan, padahal pergi menuju masjid terkadang diwajibkan atau dianjurkan bagi penduduk kampung karena terdapat banyak keutamaan yang tak terhitung akan hal itu. Apabila hal tersebut tidak diperbolehkan, maka tentu bersafar menuju kuburan para hamba-Nya lebih layak untuk tidak diperkenankan.” (Al Iqtidla 2/183).

Syaikh Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan,

”Konteks hadits ini menunjukkan pengharaman bersafar untuk mengunjungi berbagai tempat selain ketiga tempat yang disebutkan di dalam hadits seperti menziarahi orang-orang shalih, baik yang hidup maupun telah wafat dengan tujuan bertaqarrub (beribadah) disana. Selain itu, larangan tersebut mencakup tindakan bersafar ke berbagai tempat yang diyakini memiliki keutamaan dengan tujuan bertabarruk dan melaksanakan shalat disana. Pendapat ini merupakan pendapat Syaikh Abu Muhammad Al Juwaini (imam Al Haramain-pen) dan juga Al Qadli ’Iyadl (keduanya merupakan ulama Syafi’iyyah-pen).” (Subulus Salam 1/89).

Penutup

Berdasarkan penjelasan diatas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan sebagian kaum muslimin, yaitu berziarah ke kuburan para wali rahimahumullah telah menyelisihi ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ridlwanullah ’alaihim jami’an. Larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radliallahu ‘anhu mencakup perbuatan mereka tersebut.

Patut dicamkan hal ini bukan berarti melarang kaum muslimin untuk berziarah kubur. Akan tetapi, yang terlarang adalah melakukan perjalanan jauh dan berpeluh untuk mengunjungi tempat atau kuburan yang diyakini memiliki keutamaan dalam rangka beribadah disana. Adapun menziarahi kubur tanpa melakukan safar, maka hal ini disyari’atkan dalam agama kita apabila dilakukan dalam rangka mendo’akan mayit, mengingat kematian dan kehidupan akhirat.

Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi menetapkan,

“Tidak diperbolehkan bersafar untuk menziarahi kuburan para nabi dan orang shalih atau selain mereka. Hal ini adalah perbuatan yang tidak memiliki tuntunan dalm agama Islam. Dan dalil yang melarang hal tersebut adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi) dan masjid Al Aqsha.” Begitupula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunan dari kami, maka amal tersebut tertolak.” Adapun menziarahi kubur mereka tanpa melakukan safar maka hal ini dianjurkan berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu dapat mengingatkan seorang pada kehidupan akhirat.” Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhutsi Al ’Ilmiyah wa Al Ifta, jawaban pertanyaan ketiga dari Fatwa nomor 4230, Maktabah Asy Syamilah).

Wash shalatu was salamu ’ala nabiyyinal mursalin. Al hamdu lillahi rabbil ’alamin.

Sumber : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2011/04/fenomena-ziarah-ke-kuburan-para-wali.html dari

http://ikhwanmuslim.com/akidah-dan-manhaj/fenomena-ziarah-wali

artikel terkait: Dengar & Download MP3 Ceramah Gratis: “Hal-hal yang Diharamkan di Kuburan” (Ustadz Abu Thohir, Lc.)

Rabu, 23 Oktober 2013

Bangga menjadi ibu rumah tannga


- – ASSALAFIYYAH – -
INDAHNYA HIDUP DALAM NAUNGAN SUNNAH
Bangga men­jadi Ibu Rumah Tangga, Profesi Yang Mulia…
Hebat rasanya ketika men­dengar ada seorang wanita lulusan sebuah univer­sitas ter­nama telah bekerja di sebuah per­usahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi per­usahaan sering menugaskan wanita ter­sebut ter­bang ke luar negeri untuk menyelesaikan urusan per­usahaan. Ter­gam­bar seolah kesuk­sesan telah dia raih. Benar seperti itukah?

Kebanyakan orang akan ber­ang­gapan demikian. Sesuatu dikatakan suk­ses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak mem­beri nilai materi akan diang­gap remeh. Cara pan­dang yang demikian mem­buat banyak dari wanita mus­limah ber­geser dari fitroh­nya. Ber­pan­dangan bahwa sekarang sudah saat­nya wanita tidak hanya ting­gal di rumah men­jadi ibu, tapi sekarang saat­nya wanita menun­jukkan eksis­tensi diri di luar. Meng­gam­barkan seolah-olah ting­gal di rumah men­jadi seorang ibu adalah hal yang rendah.

Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya ter­asa berat untuk men­jawab, ber­usaha meng­alihkan pem­bicaraan atau men­jawab dengan suara lirih sam­bil ter­tun­duk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “suk­ses” ber­karir di sebuah per­usahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang mus­limah lulusan univer­sitas ter­nama dengan pres­tasi bagus atau bahkan ber­p­redikat cum­laude hen­dak ber­khidmat di rumah men­jadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus ber­hadapan dengan “nasehat” dari bapak ter­cin­tanya: “Putriku! Kamu kan sudah sar­jana, cum­laude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri ter­cin­tanya hen­dak ber­khidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang men­jadi tang­gung jawabnya. Disana ia ingin men­cari surga.

Ibu Seba­gai Seorang Pendidik

Syaikh Muham­mad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah meng­atakan bahwa per­baikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara:

Per­tama, per­baikan secara lahiriah, yaitu per­baikan yang ber­lang­sung di pasar, masjid, dan ber­ba­gai urusan lahiriah lain­nya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nam­pak dan keluar rumah.

Kedua, per­baikan masyarakat di balik layar, yaitu per­baikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini seba­gaimana difir­mankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:

وَقَرنَ فى بُيوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجنَ تَبَرُّجَ الجٰهِلِيَّةِ الأولىٰ ۖ وَأَقِمنَ الصَّلوٰةَ وَءاتينَ الزَّكوٰةَ وَأَطِعنَ اللَّهَ وَرَسولَهُ ۚ إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذهِبَ عَنكُمُ الرِّجسَ أَهلَ البَيتِ وَيُطَهِّرَكُم تَطهيرًا

Dan hen­daklah kamu tetap di rumahmu [1] dan janganlah kamu ber­hias dan ber­ting­kah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu [2]dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesung­guh­nya Allah ber­mak­sud hen­dak meng­hilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait [3]dan mem­ber­sihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab : 33)

Per­tum­buhan generasi suatu bangsa adalah per­tama kali ber­ada di buaian para ibu. Ini ber­arti seorang ibu telah meng­am­bil jatah yang besar dalam pem­ben­tukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Meng­ajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menan­capkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecin­taan pada Al Quran dan As Sunah seba­gai pedoman hidup, kecin­taan pada ilmu, kecin­taan pada Al Haq, meng­ajari mereka bagaimana ber­ibadah pada Allah yang telah men­cip­takan mereka, meng­ajari mereka akhlak-akhlak mulia, meng­ajari mereka bagaimana men­jadi pem­berani tapi tidak som­bong, meng­ajari mereka untuk ber­syukur, meng­ajari ber­sabar, meng­ajari mereka arti disiplin, tang­gung jawab, meng­ajari mereka rasa empati, meng­har­gai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Ter­masuk di dalam­nya hal yang menurut banyak orang diang­gap seba­gai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti meng­ajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa men­jadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.

Sebuah Tang­gung Jawab

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا قوا أَنفُسَكُم وَأَهليكُم نارًا وَقودُهَا النّاسُ وَالحِجارَةُ عَلَيها مَلٰئِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لا يَعصونَ اللَّهَ ما أَمَرَهُم وَيَفعَلونَ ما يُؤمَرونَ

“Hai orang-orang yang ber­iman, peliharalah dirimu dan keluar­gamu dari api neraka yang bahan bakar­nya manusia dan batu, pen­jaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak men­dur­hakai Allah ter­hadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu meng­er­jakan apa yang diperin­tahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluar­gamu!” di atas meng­gunakan Fi’il Amr (kata kerja per­in­tah) yang menun­jukkan bahwa hukum­nya wajib. Oleh karena itu semua kaum mus­limin yang mem­punyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.

Ten­tang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ber­kata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluar­gamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mus­tadrak–nya (IV/494), dan ia meng­atakan hadist ini shahih ber­dasarkan syarat Bukhari dan Mus­lim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)

Muqatil meng­atakan bahwa mak­sud ayat ter­sebut adalah, setiap mus­lim harus men­didik diri dan keluar­ganya dengan cara memerin­tahkan mereka untuk meng­er­jakan kebaikan dan melarang mereka dari per­buatan maksiat.

Ibnu Qoyyim men­jelaskan bahwa beberapa ulama meng­atakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta per­tang­gungjawaban setiap orang tua ten­tang anak­nya pada hari kiamat sebelum si anak sen­diri meminta per­tang­gungjawaban orang tuanya. Seba­gaimana seorang ayah itu mem­punyai hak atas anak­nya, maka anak pun mem­punyai hak atas ayah­nya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala ber­firman, “Kami wajibkan kepada manusia agar ber­buat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disam­ping itu Allah juga ber­firman, “Peliharalah dirimu dan keluar­gamu dari api neraka yang ber­bahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)

Ibnu Qoyyim selan­jut­nya men­jelaskan bahwa barang siapa yang meng­abaikan pen­didikan anak­nya dalam hal-hal yang ber­man­faat baginya, lalu ia mem­biarkan begitu saja, ber­arti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh ter­hadap anak mereka, tidak mau meng­ajarkan kewajiban dan sun­nah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa meng­am­bil keun­tungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa men­jadi anak yang ber­man­faat bagi ayahnya.

Adapun dalil yang lain dian­taranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:

“dan ber­ilah per­ingatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meng­atakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ber­sabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemim­pin bagi keluar­ganya di rumah, dia ber­tang­gung jawab atas keluar­ganya. Wanita pun pemim­pin yang meng­urusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun ber­tang­gung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemim­pin meng­urusi harta tuan­nya, dia pun ber­tang­gung jawab atas kepengurusan­nya. Kalian semua adalah pemim­pin dan ber­tang­gung jawab atas kepemim­pinan­nya.” (HR. Bukhari 2/91)

Dari keterangan di atas, nam­pak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hen­dak­nya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut men­didik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat mem­butuhkan bim­bingan­nya. Orang tua hen­dak­nya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lain­nya. Ini adalah tang­gung jawab yang besar yang kita akan dimin­tai per­tang­gungjawaban tentangnya.

Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih

Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tum­buh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menum­puk, “Mau untuk apa nak, tabungan­nya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak men­jawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan men­jawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya ten­tang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! men­dengar jawaban ini dari seorang anak tat­kala ana-anak seusianya ber­mimpi “pengen jadi Superman!”

Jiwa seperti ini bagaimana mem­ben­tuk­nya? Butuh seorang pen­didik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan ber­gan­tung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitip­kan­nya pada pem­bantu atau mem­biarkan anak tum­buh begitu saja?? Kita sama-sama tau ling­kungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu –atau calon ibu-?

Setelah kita memahami besar­nya peran dan tang­gung jawab seorang ibu seba­gai seorang pen­didik, melihat realita yang ada sekarang seper­tinya keadaan­nya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak mem­per­hatikan bagaimana pen­didikan anak mereka. Tidak mem­per­hatikan bagaimana aqidah mereka, apakah ter­kotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak meng­er­jakan­nya… Bagaimana mung­kin peker­jaan menan­capkan tauhid di dada-dada generasi mus­lim bisa diban­dingkan dengan gaji jutaan rupiah di per­usahaan bonafit? Sung­guh! sangat jauh perbandingannya.

Aneh­nya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenar­nya ting­gal di rumah namun tidak juga mereka mem­per­hatikan pen­didikan anak­nya, bagaimana kep­ribadian anak mereka diben­tuk. Penulis sem­pat seben­tar ting­gal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pen­didikan anak-anak mereka. Mem­besarkan anak seolah hanya sekedar mem­berinya makan. Sedih!

Padahal anak adalah inves­tasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi men­didik­nya dengan ikh­las adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan men­dapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ingin­kah hari kita ter­isi dengan­nya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuk­sesan karir anak kita, meraih hidup yang ber­kecukupan, cukup untuk mem­beli rumah mewah, cukup untuk mem­beli mobil men­tereng, cukup untuk mem­bayar 10 pem­bantu, mem­punyai keluarga yang bahagia, ber­akhir pekan di villa. Tanpa mem­per­hatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak ber­teng­kar dan bisa senyum dan ter­tawa ria di rumah, disebut­lah itu dengan bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu ber­baring dan tak bisa bang­kit dari ran­jang untuk sekedar ber­jalan. Siapa yang mau meng­urus kita kalau kita tidak per­nah men­didik anak-anak kita? Bukan­kah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu per­nah kita bang­gakan, atau mung­kin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?

Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat mem­butuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu ber­buat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang men­doakan kita kalau kita tidak per­nah meng­ajari anak-anak kita?

Lalu…

Masih­kah kita meng­atakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’Ooo, Emm? dengan ter­tun­duk dan suara lirih karena malu?

Wallahu a’lam

Pemateri: Ustadz Abu Nida

[1] Mak­sud­nya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keper­luan yang dibenarkan oleh syara’. per­in­tah ini juga meliputi segenap mukminat.

[2] Yang dimak­sud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang ter­dapat sebelum Nabi Muham­mad s.a.w. dan yang dimak­sud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemak­siatan, yang ter­jadi sesudah datang­nya Islam.

[3] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam ‘alaihi wa sallam

Selasa, 22 Oktober 2013

Tolong menolong

<div style="text-align:center;"><a href="http://www.kajian.net" title="Kajian.net - Koleksi Audio Ceramah Islam MP3 Gratis/Free Download"><img src="http://www.kajian.net/wp-content/uploads/2013/08/banner_200x150.jpg" width="200" height="150" border="0" alt="Kajian.Net"/></a>
<a href="http://kajian.net">Koleksi Ceramah Islam MP3</a></div>